Pages

Kamis, 21 Juli 2011

Membedah Kejahatan Internet Di Indonesia

Jepang, kepolisian Jepang menyatakan bahwa kasus kejahatan di Jepang yang melibatkan teknologi Internet melonjak sekitar 60 persen hanya dalam waktu setengah tahun. Kebanyakan kejahatan itu berkaitan dengan transaksi serta prostitusi online. 
Di Cina, sebelum disahkannya UU Kejahatan Internet tahun 2000 lalu, Kementerian Keamanan Publik RRC menyatakan, lebih dari 1.000 jenis kejahatan Internet terjadi dalam enam bulan pertama tahun tersebut. Jumlah itu hampir sama dengan kejahatan serupa di tahun sebelumnya. Hanya saja, uniknya, Cina mempunyai terminologi tersendiri untuk mengategorikan sesuatu sebagai kejahatan Internet. Antara lain, mempromosikan kemerdekaan Taiwan ataupun menggunakan Internet untuk menghasut kekuasaan negara, menggoyang sistem sosialis, serta kegiatan-kegiatan subversif lainnya. 
Di dalam negeri, kejahatan Internet yang melibatkan warga Indonesia, baik pelaku maupun korban, tidak hanya dalam lingkup lokal saja, namun mendunia. Beberapa modus operandi kejahatan Internet tersebut di antaranya adalah pencurian kartu kredit, kejahatan perbankan melalui Internet, pornografi anak, serta penipuan lewat berbagai situs maupun e-mail. 
Kejahatan "online" 
Dampak kejahatan kartu kredit yang dilakukan lewat transaksi online, oleh carder orang Indonesia, membuat beberapa merchant online di AS dan Australia sudah memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam mereka. Bahkan ada dugaan kuat, FBI tengah menjadikan beberapa kota di Indonesia sebagai sasaran pengawasan langsung. Hal ini terjadi karena carder, yang ada menyejajarkannya dengan hacker dan cracker, merugikan beberapa pihak asing. 
Seperti yang terjadi di Yogyakarta. Polda DI Yogyakarta menangkap lima carder dan mengamankan barang bukti bernilai puluhan juta, yang didapat dari merchant luar negeri. Begitu juga dengan yang dilakukan mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung, Buy alias Sam. Akibat perbuatannya selama setahun, beberapa pihak di Jerman dirugikan sebesar 15.000 DM (sekitar Rp 70 juta). 
Para carder beberapa waktu lalu juga menyadap data kartu kredit dari dua outlet pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Caranya, saat kasir menggesek kartu pada waktu pembayaran, pada saat data berjalan ke bank-bank tertentu itulah data dicuri. Akibatnya, banyak laporan pemegang kartu kredit yang mendapatkan tagihan terhadap transaksi yang tidak pernah dilakukannya. 
Dunia perbankan dalam negeri juga digegerkan dengan ulah Steven Haryanto, yang membuat situs asli tetapi palsu layanan perbankan lewat Internet BCA. Lewat situs-situs "Aspal", jika nasabah salah mengetik situs asli dan masuk ke situs-situs tersebut, identitas pengguna (user ID) dan nomor identifikasi personal (PIN) dapat ditangkap. Tercatat 130 nasabah tercuri data-datanya, namun menurut pengakuan Steven pada situs Master Web Indonesia, tujuannya membuat situs plesetan adalah agar publik memberi perhatian pada kesalahan pengetikan alamat situs, bukan mengeruk keuntungan. 
Persoalan tidak berhenti di situ. Pasalnya, banyak nasabah BCA yang merasa kehilangan uangnya untuk transaksi yang tidak dilakukan. Ditengarai, para nasabah itu kebobolan karena menggunakan fasilitas Internet banking lewat situs atau alamat lain yang membuka link ke Klik BCA, sehingga memungkinkan user ID dan PIN pengguna diketahui. Namun ada juga modus lainnya, seperti tipuan nasabah telah memenangkan undian dan harus mentransfer sejumlah dana lewat Internet dengan cara yang telah ditentukan penipu ataupun saat kartu ATM masih di dalam mesin tiba-tiba ada orang lain menekan tombol yang ternyata mendaftarkan nasabah ikut fasilitas Internet banking, sehingga user ID dan password diketahui orang tersebut. 
Pornografi anak 
Kejahatan Internet lainnya yang melibatkan Indonesia adalah pornografi anak. Beberapa waktu lalu Pemerintah AS menangkap lebih dari 100 orang yang diduga terlibat kegiatan pornografi anak. Dari situs yang memiliki 250 pelanggan dan dijalankan di Texas, AS, pengoperasiannya dilakukan di Rusia dan Indonesia. Untuk itulah, Jaksa Agung AS John Ashcroft sampai mengeluarkan surat resmi penangkapan terhadap dua warga Indonesia yang terlibat dalam pornografi yang tidak dilindungi Amandemen Pertama. 
Para pengguna Internet juga harus waspada dengan adanya modus penipuan lewat situs-situs yang menawarkan program-program bantuan maupun multilevel marketing (MLM). Seperti dalam program bernama Given in Freedom Trust (GIFT) dari sebuah situs yang tadinya beralamat di http://www.entersatu.com/danahibah. Dalam program ini, penyelenggara mengiming-imingi untuk memberikan dana hibah yang didapat dari sekelompok dermawan kaya dari beberapa negara bagi perorangan atau perusahaan, dengan syarat mengirimkan sejumlah dana tertentu ke rekening tertentu tanpa nama. Program ini menggiurkan karena untuk perorangan tiap pemohon bisa mendapat 760 dollar AS/bulan dan 3.000 dollar AS/ bulan untuk perusahaan. 
Penipuan lainnya dilakukan lewat surat elektronik (e-mail). Penipuan lewat media ini bahkan diindikasikan sebagai bagian dari mafia internasional. Modus operandinya, seseorang yang berasal dari luar negeri, kebanyakan dari Afrika, meminta bantuan untuk "menerima" transferan sejumlah dana dari proyek yang telah dikerjakan atau alasan lain ke rekening calon korbannya. 
Iming-imingnya, uang yang bernilai milyaran rupiah itu, 30 persen akan menjadi milik korban. Hanya saja, kemudian diketahui, dari beberapa laporan, mereka terlebih dahulu harus mengirimkan sekitar 0,1 persen dari dana yang akan menjadi milik korban kepada penipu tersebut. Ujungnya, setelah dikirim, uang yang dijanjikan tidak juga diterima. Para korban pun takut melapor karena selain kasus ini terkait dengan pihak luar, mereka juga takut dengan mungkin saja malah dituduh terkait dengan "pencucian uang" internasional. 
Yang bisa diperbuat? 
Untuk mengantisipasi makin meningkatnya kejahatan Internet, yang krusial diperlukan adalah kejelasan hukum mengenai teknologi informasi ini. Tidak cukup dalam lingkup nasional saja, Indonesia harus ikut aktif juga bersama negara-negara lain dalam lingkup regional maupun global, menyiapkan perangkat pengamanan guna melindungi diri dari penyalahgunaan Internet dan meningkatnya cyber crime. 
Seperti yang dilakukan Dewan Eropa. Sebanyak 26 negara Eropa beserta Kanada, Jepang, AS, dan Afrika Selatan menandatangani perjanjian guna memberikan kerangka kerja dalam upaya memerangi berbagai jenis kejahatan yang berkaitan dalam jaringan komputer. Selain itu, perjanjian tersebut juga membuat suatu definisi kejahatan dan memberi jalan keluar cara membangun kerja sama internasional dalam investigasi dan penuntutan. 
Meski belum ada aturan yang tegas mengenai kejahatan Internet saat ini, itu tidak berarti adanya kevakuman hukum. Kejahatan Internet sesungguhnya dapat pula dibidik dengan aturan-aturan yang sudah ada. Seperti kasus pencurian data kartu kredit ataupun tabungan yang bisa dibidik dengan pasal-pasal pencurian atau kejahatan perbankan, dalam kasus pornografi pelaku dapat dijerat pasal-pasal yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan, penipuan lewat situs dan e-mail yang bisa dikenakan pasal-pasal penipuan, kemudian untuk perlindungan pengguna Internet, seperti dalam jual beli lewat Internet, bisa diterapkan UU perlindungan konsumen. 
Hal penting lainnya adalah memberdayakan pengguna Internet itu sendiri. Sebab, meski secara teknologi bersifat netral, Internet bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa dimanfaatkan dalam meningkatkan peran aktif masyarakat dalam proses demokrasi dan menawarkan berbagai layanan yang bersifat membangun, tetapi juga bisa bersifat merusak. Karena berpotensi digunakan untuk kriminalitas, pengguna Internet yang masih awam perlu diberdayakan agar tidak menjadi sasaran empuk penjahat Internet. 
Dalam kasus kejahatan perbankan melalui Internet, berbagai kasus yang terjadi perlu mendapat perhatian penyelenggara fasilitas ini. Infrastruktur terutama sistem keamanan jaringan dan kerahasiaan nasabah pengguna fasilitas ini hendaknya benar-benar dipertimbangkan sebelum e-banking diluncurkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About